Hmmm…Alhamdulillah bisa ngelanjutin blogging
lagi setelah hampir 4 bulan vakum dari aktivitas di dumay alias dunia maya. Alasannya
sih macem-macem, mulai dari yang ga penting, sok dipenting-pentingin sampai
yang beneran penting hehehe. Beberapa alasan tersebut diantaranya terkait blog
saya yang kena ping sama gugel sehingga membuat saya frustasi cukup lama karena
merasa apa yang saya lakukan hanya sia-sia belaka. Alhamdulillah masalah
tersebut Sekarang sudah selesai dan blog saya sudah tidak sekarat lagi.
Pindahan rumah dari Jogja ke Situbondo juga merupakan alasan saya lama ga
ngeblog karena ternyata aktivitas ini cukup menyita banyak waktu (akan saya
tulis di post tersendiri). Seabreg aktivitas saya lainnya termasuk kesibukan di
tempat kerja juga menjadi alasan tersendiri kevakuman aktivitas blogging.
Nah, ada alasan lagi yang tak pernah saya
nyana sebelumnya. Pada tanggal 20 Januari lalu saya mengalami kecelakaan saat perjalanan
menuju ke rumah rekan kerja sekaligus sahabat saya di desa Gelung, Situbondo.
Saat itu saya berangkat mengendarai sepeda motor bersama suami tercinta dengan
membawa masakan kerang kreasi saya sebagai oleh-oleh. Hanya kurang sekitar 2 km
lagi sampai di rumahnya tanpa disangka kecelakaan tersebut terjadi. Bukan tabrakan
atau jatuh dari motor tapi tiba-tiba kaki saya kesakitan dan sayapun menangis
keras tanpa rasa malu. Saat saya menengok ke arah kaki saya hanya mendapati
ranting nempel di sandal saya. Namun saya semakin kesakitan dan suamipun
melihat telapak kaki saya hingga akhirnya diketahui ada serpihan/potongan kayu
yang menancap di kaki saya. Banyak yang heran dengan kejadian tersebut termasuk
saya dan suami mengingat posisi saya saat itu tetap duduk di atas sepeda motor
dan motor juga tidak roboh. Aikh, entah kami yang terlalu kepinggir ataukah
tebangan kayu di tempat tersebut yang terlalu ke tengah jalan.
Kami segera mencari pertolongan dengan
mendatangi puskesdes Gelung atas petunjuk seseorang tetapi ternyata tempat
tersebut kami dapati dalam kondisi tutup. Akhirnya saya berjuang untuk menuju
ke Puskesmas terdekat yaitu Puskesmas Mangaran yang saat itu jaraknya sekitar
10 KM dari TKP. Dengan susah payah kami berangkat kesana namun pihak Puskesmas
menyatakan diri tak dapat menangani potongan kayu di dalam kaki saya. Mereka
menyarankan kami untuk mendatangi rumah sakit karena kayu yang menancap
ternyata tidak bisa dicabut langsung melainkan harus melalui pembedahan karena
ditakutkan akan merobek pembuluh darah atau apalah namanya. Sungguh tak saya
sangka sebelumnya potongan kecil kayu tersebut mengharuskan saya mendatangi
rumah sakit. Akhirnya kami mendatangi salah satu rumah sakit dengan bantuan
mobil dari tempat kerja saya.
Singkat cerita, saya yang takut dengan jarum
suntik ini sampai di UGD rumah sakit tersebut dan segera mendapatkan
pertolongan. Tenaga medis yang menangani saya cukup banyak namun kebanyakan
dari mereka adalah para siswa sekolah keperawatan yang sedang praktek. Arrrrgg…sakiiiittt
sekali rasanya ketika suntikan bius berkali-kali menggerayangi telapak kaki
saya. Untuk pertama kalinya saya teriak-teriak di rumah sakit sambil menangis
saking sakitnya. Entahlah berapa banyak obat bius yang masuk, total suntikan
sekitar 12 kali karena suntikan awal sempat tidak mempan. Awalnya pihak yang
menangani saya ingin memaksa mencabut kayu tersebut secara langsung namun
karena tetap tidak bisa akhirnya dibedah juga. Akhirnya, 2 jahitan dalam dan 6
jahitan luar mendarat di kaki saya. Selain itu saya juga mendapatkan suntikan
anti tetanus. Setelah selesai saya diberi obat penghilang rasa nyeri dan
sebelum pulang saya diberi pesan seminggu lagi luka sudah boleh dibuka dan
silahkan datangi tenaga medis terdekat, boleh bidan/perawat jika punya tetangga
dengan profesi tersebut.
Akhirnya sudah seminggu dan saatnya melepas perban dan segala atribut di luka saya tersebut. Karena saya merupakan orang baru di tempat yang saya diami sekarang sehingga saya kurang tau tempat medis di sekitar rumah akhirnya saya memutuskan ke rumah sakit tempat saya dioperasi sebelumnya. Meski takut namun saya senang karena luka saya akan segera sembuh. Sesampainya di rumah sakit suami saya mendaftarkan saya untuk diperiksa di polibedah, kebetulan saat itu yang jaga adalah dokter spesialis bedah (bukan asisten atau dokter umum). Sampailah giliran saya memasuki ruang poli dengan harap-harap cemas. Begitu perban di kaki saya dibuka, dokter mengatakan sesuatu yang sangat menyayat hati saya, “ wah, ini belum bersih operasinya, masih ada yang di dalam, harus dioperasi lagi kalau mau sembuh”. saya langsung lemas, lunglai dan menangis penuh ketakutan karena saya sangat trauma dengan operasi pertama yang menggunakan bius lokal tersebut. Kami diberi waktu untuk berpikir maksimal 2 hari karena jika terlalu lama kondisi kaki saya akan semakin memburuk. Emosi saya tak dapat terbendung saat itu dan mengutuk para tenaga medis tak professional di UGD rumah sakit tersebut. Dua hari saya lalui dengan emosi dan tangisan sementara suami tak henti-hentinya merayu saya yang tak mau dioperasi ini agar mau dioperasi. Akhirnya kami memutuskan operasi dilakukan dengan bius total agar saya tidak ketakutan. Karena menggunakan bius total kamipun harus melalui serangkaian prosedur yang merupakan SOP mereka dan saya ternyata juga harus menjalani rawat inap selama tiga hari. Ketika rawat inap tersebut saya meminta pulang paksa karena sudah tidak tahan dengan pelayanan buruk rumah sakit tersebut. Setelah itu saya kontrol tiap seminggu sekali untuk mengganti perban, perawatan dan melihat kondisi terbaru dari luka saya. Total saya cuti 2 minggu dari pekerjaan saya namun kaki saya baru benar-benar sembuh setelah 2 bulan perawatan.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan tersendiri selama saya perawatan di rumah sakit tersebut.
- - Saat saya di UGD, pertama kali petugas melihat luka saya ada yang tersenyum dan mengatakan “kayak gini aja kok puskesmas Mangaran ga bisa nangani. Ini khan bisa dicabut”. Setelah dibius mereka benar-benar memaksa mencabutnya langsung dari kaki saya tetapi karena tetap tidak bisa akhirnya dibedah juga. Menurut saya mereka terlalu meremehkan.
- - Oya, saat mereka memaksa mencabut kayu dari kaki saya ternyata bius belum bekerja sempurna dan sayapun kesakitan. Benar-benar sembrono.
- - Saat pembelian serum tetanus ada oknum yang menawarkan agar membeli serum tersebut darinya karena lebih murah daripada di apotek. Harga yang ia tawarkan jauh lebih murah dari harga apotek. Aneh, ada transaksi jual beli tak resmi dalam rumah sakit.
- - Pada saat suami saya membayar biaya perawatan, ternyata tidak melalui kasir rumah sakit melainkan kepada mereka/oknum tersebut. Lari kemanakah uang itu? Bukankah ini pungli?
- - Obat anti nyeri yang diberikan kepada saya dosisnya sangat rendah dan tak mempan akhirnya saya membeli lagi di apotek. Mereka meremehkan luka saya.
- - Untunglah, pada saat kontrol saya bertemu dokter spesialis bukan periksa ke bidan/perawat seperti yang disarankan. Mau tau kenapa? Ternyata luka saya itu selain harus dioperasi lagi juga mengalami infeksi yang mengakibatkan kaki saya bengkak dan sakit sekali. Benar-benar tidak professional.
- - Jahitan di kaki saya dinyatakan tidak rapi oleh dokter spesialis dan jika tidak dijahit ulang hasil akhirnya akan buruk.
- - Karena kaki saya infeksi akhirnya luka operasi pertama (di UGD) begitu lama sembuh sedangkan luka operasi kedua (oleh dokter spesialis) lebih dahulu sembuh.
- - Saya opname di ruang kelas 2 karena kelas 1 dikatakan sudah penuh, Ruang tempat saya opname begitu kotor dan tidak terawat sampai-sampai teman saya yang menjenguk mengatakan tempat tersebut mirip penampungan
- - Petugas banyak yang tidak professional. Misalnya pada saat suami menanyakan biaya perawatan malah di pimpong kesana kemari, pada saat saya mau rawat inap semua kami yang urus sendiri (mencari lokasi kamar, pergi ke labroratorium dll padahal saya tidak bisa jalan dan kursi roda habis terpakai) dan masih banyak lagi.
- - Banyaknya mahasiswa praktek di tempat tersebut membuat pelayanan terasa kurang professional. Misalnya menyuntik asal-asalan sehingga obat tumpah atau rasa sakit yang luar biasa terasa pada bagian tangan yang diinfus dan masih banyak lagi. Mereka sering menangani tanpa pendampingan dan akhirnya pasien yang menjadi korban. Hal ini juga yang membuat saya meminta pulang paksa.
- - Sebelum pulang paksa saya sempat memberi masukan kepada perawat terkait pelayanannya tetapi dia malah mengadukan saya dan suami kepada atasannya. Perawat senior tersebut menegur kami dan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut sudah atas persetujuannya. Sayapun lantas menjawab bahwa sebenarnya kami tidak masalah dengan keberadaan para anak praktek atau perawat junior tersebut hanya saja seharusnya ada pendampingan dari para senior agar pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai, bukannya menjadikan pasien sebagai ajang coba-coba!
- - pada saat saya kontrol (saya lupa tanggalnya), saya bertemu dengan bapak-bapak yang jempolnya diperban. Kami saling cerita luka masing-masing. Ternyata, beliau juga dioperasi dua kali karena operasi pertama (di UDG yang sama dengan saya) ternyata tidak tuntas. Beliau juga mengeluhkan sakitnya penyuntikan bius di UGD tersebut. Akhirnya suami saya percaya bahwa saya benar-benar kesakitan saat dibius dan tidak menertawakn tangisan saya lagi. Entah berapa orang lagi yang bernasib sama dengan kami yaitu operasi dua kali di rumah sakit yang sama tetapi ditangani orang yang berbeda.
- - Saya juga kesal dengan dua kali operasi tersebut karena operasi yang kedua menguras kocek saya cukup dalam.
Apapun yang terjadi saya yakin bahwa ini semua
atas kuasa Allah SWT yang harus saya ambil hikmahnya. Meski sempat sakit, kesal
dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit namun saya bersyukur dapat melewati
ini semua dan Sekarang kaki saya sudah sehat kembali seperti sediakala.
Alhamdulillah.
Saya memang kesal dengan petugas medis di UGD
tersebut dan juga pelayanan buruk di RS tersebut. Tetapi saya juga berterima
kasih kepada dokter spesialis bedah dan kru yang menangani luka saya di poli
bedah (mereka berbeda dengan kru UGD). Mereka ramah dan menangani luka saya
dengan baik.
Pesan saya buat teman pembaca post ini agar
lebih selektif memilih tempat perawatan baik untuk anda sendiri maupun kolega.
Lihat juga reputasi mereka di dunia medis tempat anda tinggal. Dan yang paling
penting hati-hati dimanapun berada, jangan sampai kejadian yang saya alami
menimpa teman-teman. Atas kejadian ini saya juga lebih berhati-hati dan selalu
meminta perlindungan-Nya agar dijauhkan dari segala marabahaya. Semoga kita semua
selalu dalam lindungan-Nya. Amin.
assalamualaikum mbak Miea, salam kenal.
ReplyDeleteSaya juga seorang tenaga medis di RS, di instalasi Gawat Darurat juga. Saya setuju dan memaklumi apa yang mbak ceritakan. menurut saya, oknum seperti itu juga banyak. meremehkan, kurang pendekatan dengan pasien. ada yang bermain di intern instansi seperti menjual obat. mungkin mereka melakukan hal tersebut yang notabene sebenarnya "salah", karena banyak alasan, salah satunya misal: kerjaan banyak gaji sedikit. yah maklumlah di negeri ini.
Kalau untuk mahasiswa praktik, saya setuju, seharunya ada pendamping, seniornya. Sebab mereka juga harus sering practice, biar lebih terampil, dan jika lulus, menjadi tenaga medis atau paramedis yang cakap. Kalau mereka tidak terampil dan cakap karena jarang practice pegang pasien saat belajar seperti ini, bagaimana pasiennya nanti saat mereka sudah lulus? mungkin salah satu pasien mereka nanti adalah generasi keturunan dari mbak Miea.
Semoga lekas sembuh mbak.
Salam blogger dari Jawa Timur. dr. Tubagus
Salam kenal, makasi sdh mampir. sy jg dr Jatim.
Deleteapa yg sy sampaikan d atas hanyalah sekelumit permasalahan klasik dunia medis. bnyk org yg enggan menyuarakannya. kejadian yg menimpa org2 d sekitar sy jg bnyk sekali.
Hal yg kemudian terasa aneh adlh ketika keluarga sy berobat d rmh sakit yg kredibel serta mohon maaf Mahal, kejadian spt tsb tdk ada. Sebuah bukti bahwa uang msh menentukan banyak hal...