Air merupakan zat yang penting bagi kehidupan. Pun bagi manusia seperti
kita dimana kandungan air dalam tubuh manusia berkisar 70% jumlahnya. Sebagian
besar permukaan bumi juga terdiri atas air baik yang terdapat di laut maupun
daratan. Pos-pos air yang ada di wilayah daratan diantaranya terdiri Sungai,
Danau, Rawa, Bendungan, Sumur hingga berasal dari sumber-sumber mata air
pegunungan. Kegunaan air bagi kehidupan juga beragam mulai untuk keperluan air
minum, MCK, pertanian, peternakan, industri dan masih banyak lagi. Begitulah
kiranya arti pentingnya keberadaan air bagi kelangsungan hidup seluruh penghuni
Bumi. Di sisi lain keberadaan air yang melimpah seperti banjir juga menciptakan
persoalan tersendiri bagi manusia. Di Indonesia misalnya, sering kali terjadi
musibah banjir di beberapa wilayah namun di wilayah yang lain malah terjadi
kekeringan. Dengan adanya banjir maupun kekeringan tentu saja manusia tak dapat
menggunakan air semaksimal mungkin. Sekarang ini permasalahan air terutama
untuk kebutuhan air bersih semakin menggema di berbagai pelosok tanah air
karena semakin langkanya sumber air bersih yang layak digunakan masyarakat.
KAMPUNGKU LANGKA AIR
Berbicara mengenai sumber air dan kelangkaanya bagi saya seperti
berbicara tentang diri sendiri. Saya yang seorang warga salah satu desa yang
terdapat di kabupaten Madiun telah begitu akrab dengan keadaan kampung yang
serba kekurangan dari masa kecil hingga sekarang. Semasa saya kecil sebutan
kampung “katrok” mungkin layak disematkan pada nama kampung saya. Bagaimana
tidak, di kampung kami belum ada aliran listrik, jalan makadam dengan batu-batu
terjal hingga sulitnya bagi warga kampung untuk mendapatkan akses air bersih. Hal
ini mungkin ironis bagi sebagian orang mengingat keberadaan kampung kami yang
bertengger di lembah Gunung Pandan yang mana selama ini wilayah pegunungan
selalu diidentikkan sebagai wilayah yang subur dan banyak terdapat sumber air.
Sayang, hal tersebut bertolak belakang dengan yang terjadi di lokasi tempat
saya bermukim.
Meski tinggal di daerah pegunungan toh nyatanya kami tidak mendapati
tanah-tanah yang subur akibat abu vulkanik maupun sumber air yang melimpah
sebagaimana yang terjadi di wilayah lain yang juga pegunungan. Sawah-sawah diwilayah
kami juga merupakan sawah tadah hujan karena para petani tak mampu mendapatkan
aliran air yang cukup untuk irigasi lahan sawah tersebut bahkan sungai yang ada
pun airnya hanya mengalir tatkala musim penghujan tiba. Hal tersebut dikarenakan pegunungan di
tempat kami statusnya tidak aktif. Hamparan sawah di area kami nyaris menjadi
padang gersang dengan lubang-lubang menganga ketika musim kemarau.
“JUN” bukan JIN
Gambar 2. Mbok Marmi & Jun miliknya (kiri), Gentong (Kanan) |
Adalah Mbok Marmi dan Mbah Kamini dua orang
yang mampu mewakili masa lalu kami. Gambar di atas menunjukkan Mbok Marmi
sedang menggendong jun miliknya.
Sekarang gerabah pembawa air tersebut sudah jarang ditemui di kampung kami,
bahkan untuk mendapatkan foto ini harus keliling kampung terlebih dahulu untuk
mendapati warga yang masih memiliki jun.
Sedangkan untuk gentong sangat mudah
ditemui karena saat ini pun hampir semua warga masih menggunakannya sebagai
penampung air di rumah.
Masih teringat dengan jelas bagaimana saya
beserta warga lainnya bersusah payah mendapatkan air untuk keperluan kami
sehari-hari. Sebagian dari kami mengambil air di “belik” yang terdapat di hutan yang berjarak 1-1.5 KM dari rumah
warga sedangkan sebagian lagi mengantri di tempat pemandian umum yang jumlahnya
hanya beberapa spot saja di kampung kami. Bayangkan saja berapa lama kami harus
mengantri untuk bisa mandi maupun mencuci baju-baju kotor kami. Saya adalah
salah satu warga yang mengantri di pemandian umum untuk sekedar menunaikan
ritual mandi, mencuci dan juga mengambil air. Agar tak terlalu antri berangkat
setelah subuh pun sering jadi pilihan karena jika tidak maka harus pandai
“bekerja” dengan kilat ketika sedang mandi. Hal tersebut dilakukan karena
banyaknya warga yang mengantri untuk keperluan yang sama. Kami setiap hari
berduyun-duyun ke tempat ini dengan bekal “Jun”
(tempat air yang terbuat dari tanah liat), Jerigen juga Timba untuk mengusung air
ke rumah kami. Air-air tersebut
ditampung disebuah tempat yang biasa kami sebut gentong. Saya dengan tenaga dan tulang-tulang kecil saya tak luput
dari pekerjaan yang demikian menguras tenaga dan kami melakukan agenda tersebut
beberapa kali dalam sehari. Saat itu tak ada satu pun warga yang memiliki
fasilitas MCK pribadi.
Air Mata Alam
Selain mengambil air di belik
dan pemandian umum, kebanyakan dari kami mengandalkan air hujan dengan
menadahnya di beberapa tempat yang sengaja dipersiapkan. Mandi dengan air mata
alam? Tentu saja saya melakukannya, saat-saat seperti itu bisa merasakan mandi
merupakan kenikmatan tersendiri mengingat sulitnya akses air ke tempat kami.
Ketika musim penghujan sungai yang mengalir juga dimanfaatkan oleh warga untuk
mandi maupun memandikan hewan ternak miliknya. Pada moment seperti ini sudah
tak terpikirkan apakah air yang digunakan tersebut sehat atau tidak. Terlalu
berlimpah peluh di tubuh kami hingga tak sempat memikirkannya. Para petani yang
pulang dari menggarap sawahnya, para penggembala ternak dari hutan, pencari
kayu bakar hingga anak-anak sekolah yang menempuh jarak Kiloan meter dari kampung
membuat kami terkadang tak rupa manusia. Begitulah kiranya potret langkanya air
di kampung kami yang nyatanya bermukim di wilayah pegunungan.
HARAPAN BARU VS MASALAH
BARU
Semakin hari jumlah penduduk di desa kami semakin bertambah
sementara itu tidak terjadi penambahan tempat pemandian umum baru. Jumlah
pengantri di setiap spot pemandian umum kian mengular saja bak antrian sembako.
Belum lagi jika harus dihadapkan dengan saluran air yang mati. Astaga! Timbullah
inisiatif beberapa warga desa yang memiliki cukup biaya untuk membuat fasilitas
MCK pribadi. Usul tersebut pun dengan berbagai pertimbangan akhirnya disetujui
pimpinan Dusun dengan resiko semua biaya pembuatan dan pemasangan pipa saluran
ditanggung oleh pribadi.
Hore… Akhirnya aku
punya “Jeding” sendiri
Setelah sekian lama mengais air dengan berbekal jerigen dan jun, keinginan untuk memiliki fasilitas
MCK pribadi terkabulkan. Waktu itu, Bapak saya yang seorang kuli besi di salah
satu pabrik besi di Surabaya pulang dari perantauannya. Bapak mencoba
peruntungan dengan berjualan empon-empon
dan syukurlah usaha bapak membuahkan hasil. Beberapa fasilitas yang dulu tak
kami miliki, diusahakan oleh bapak agar dapat hadir di tengah-tengah keluarga kami.
Salah satu aset mewah yang ingin kami miliki saat itu adalah kamar mandi.
Berkat usahanya, Bapak berhasil membangun kamar mandi pribadi. Dan, akhirnya
kami pun memiliki jeding sendiri.
Bentuknya memang sederhana namun bagi kami jeding
tersebut merupakan barang mewah yang layak diperjuangkan. Kami bersyukur
karena ternyata jeding tersebut juga
bermanfaat bagi para tetangga kami yang menumpang kegiatan mandi, mencuci dan
mengambil air.
Selain di rumah kami ada beberapa warga yang juga memiliki
fasilitas MCK pribadi hanya saja jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Lambat
laun tempat-tempat pemandian umum (pet)
di kampung kami mulai uzur dan mengalami banyak kerusakan meski telah dipugar
berkali-kali. Warga kampung pun berpikir bagaimana supaya tiap rumah memiliki jeding masing-masing. Warga beserta
pejabat kampung pun berembug untuk mewujudkan keinginan tersebut. Gayung pun
bersambut akhirnya seluruh warga kampung bergotong-royong membuat jeding di rumah masing-masing. Warga kampung
juga berurunan untuk membeli fasilitas pendukung seperti pipa paralon dan
lainnya. Meski tak mudah dan memerlukan waktu yang tidak sebentar namun
akhirnya cita-cita warga untuk memiliki fasilitas MCK sendiri kini terkabul.
Lagi-lagi bentuknya hanya sederhana, sebagian warga menggunakan semen untuk
membuat bak mandi dan sebagian lagi hanya menggunakan ember dan jambangan untuk menggantikan fungsi bak
mandi. Untuk dinding jeding
kebanyakan masih menggunakan papan/kayu ada juga yang hanya berupa potongan sak
yang disambung. Air yang digunakan untuk mengaliri jeding para warga berasal dari sumber air lereng gunung Pandan yang
berjarak sekitar 5 KM dari perkampungan kami. Di sumber air tersebut setiap
tahunnya juga di adakan semacam ritual sebagai perwujudan rasa syukur dan acara
tersebut masuk dalam rangkaian acara Nyadran
(bersih desa) di kampung kami.
Di kampung kami terdapat empat Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah
penduduk + 1000 jiwa sehingga tidak memungkinkan keran semua warga mengalir
secara bersamaan. Untuk mengatasi hal tersebut pada pagi air dialirkan ke
sebagian penduduk dan sebagian lagi dilakukan pada siang hari. Untuk mendukung
kegiatan tersebut warga diwajibkan iuran sebesar Rp. 1.500,- per bulannya untuk
membayar dua orang petugas pengatur air yang kami sebut Jagatirta. Kedua Jagatirta tersebut adalah Pakde Wajio dan Lek
Yatmin, selain bertugas mengatur aliran air ke rumah warga juga bertindak atas
masalah-masalah yang berkenaan dengan aliran air seperti pipa tersumbat dan
lain-lain. Selain mengairi jeding warga, air juga dialirkan ke sawah warga pada
malam harinya. Namun tak semua warga dapat jatah air ini, hal tersebut terkait
jauh dekatnya persawahan dengan sumber aliran. Warga yang mendapat jatah aliran
air tersebut juga tidak secara gratis mendapatkannya dan diwajibkan membayar
iuran senilai Rp. 30.000,- per malam. Sedangkan bagi warga yang sedang ada
acara hajatan diwajibkan membayar Rp. 20.000,- akan tetapi biasanya sang
pemilik hajatan memberikan iuran yang lebih besar dari nilai tersebut atas
dasar suka rela.
Sekedar info, pada saat kejadian di atas terjadi, kampung kami
juga telah mendapat aliran listrik dari PLN. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa
merasakan nonton televisi. Hehehe…
Hutanku Gundul, Airku
Menangis
Kami memang senang dengan kehadiran pipa-pipa ledeng yang
membawa air ke rumah kami. Aktivitas MCK dapat kami tunaikan di kediaman
masing-masing. Namun di sisi lain kami juga merasakan kepedihan hati dengan
berubahnya kondisi lingkungan di daerah kami. Seperti yang saya singgung di
atas bahwa di kampung kami mayoritas penduduknya adalah petani, hanya saja
karena status sawah-sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan sehingga
menimbulkan permasalahan tersendiri ketika hujan tak lagi menyapa wilayah kami.
Banyak dari warga desa yang mencari nafkah di hutan sekitar tempat tanggal
kami. Mulai dari mencari empon-empon hingga melakukan illegal logging.
Awalnya kegiatan illegal logging ini tidak banyak dilakukan oleh
warga apalagi secara terang-terangan karena ketatnya penjagaan oleh polisi
hutan. Namun semua jadi berbeda ketika memasuki tahun 2.000 an, entah apa yang
terjadi pembalakan liar semakin mengganas dimana-mana dan seingat saya tidak
hanya terjadi di daerah saya. Penggundulan hutan secara kejam dan tanpa
memikirkan dampaknya semakin luar biasa. Entah setan mana yang menyusupi para
pembalak tersebut, yang jelas hutan yang dulunya rimbun saat itu bak kepala
botak saja. Pohon-pohon besar hingga kecil tak luput dari jeratan kapak para
pembalak. Pembalakan juga dilakukan secara terang-terangan dan tanpa rasa takut
lagi. Saat itu tak diketahui lagi dimana peran pemerintah dalam pemberantasan
illegal logging. Pohon incaran para pembalak memang bukan sembarang pohon
melainkan pohon Jati yang memang terkenal dengan harganya yang selangit apalagi
pohon Jati di daerah kami banyak yang usianya sudah ratusan tahun. Dengan
diameter pohon yang besar semakin memikat para peminat kayu kualitas apik
tersebut. Mereka memang memperoleh keuntungan yang besar dari kayu-kayu curian
tersebut tetapi sifatnya hanya sementara sedangkan dampaknya dapat dipastikan
memakan waktu yang lama. Hal ini sungguh sangat disayangkan namun nasi telah
menjadi bubur.
Kegiatan illegal logging memang berakhir dengan kondisi yang
mengenaskan. Hutan yang biasanya teduh dan rindang berubah menjadi panas,
terang dan sisa pembalakan berserakan dimana-mana. Dampak selanjutnya yang
terjadi akibat penggundulan hutan tersebut adalah erosi. Ketika musim penghujan
tiba, astaga kagetnya kami mendapati air yang mengalir dari keran-keran warga
berubah menjadi kotor bercampur tanah dan terkadang berwarna putih susu. Air
yang dulunya selalu tampak jernih kini sulit di temui. Hal tersebut tentu saja
berdampak pada kualitas airnya terutama untuk keperluan air minum dan memasak.
Inilah buktinya nyata bahwa pembalakan liar berdampak luar biasa. Ulah beberapa
oknum berbuah petaka bagi banyak orang. Alam seolah murka akibat ulah
tangan-tangan jahil yang tak bertanggungjawab.
Gambar tersebut menunjukkan warna air yang keruh seusai hujan
reda. Nah seperti gambar tersebut juga lah warna air yang mengalir di
keran-keran warga kampung. Jika hal tersebut terjadi biasanya kami tidak
menyalakan keran hingga warna air menunjukkan perubahan. Bahkan setelah warna air
menjadi bening pun tetap harus diendapkan terlebih dahulu karena tetap saja
terdapat partikel-partikel tanah maupun benda asing lainnya yang terbawa oleh air.
Warga kampung kami dilanda keresahan dengan kondisi tersebut. Air
yang berubah warna tersebut menyulitkan kami dalam melakukan beberapa kegiatan
seperti memasak dan MCK. Untuk mendapatkan air bersih biasa air-air tersebut
harus diendapkan terlebih dahulu barulah kemudian dapat digunakan. Akan tetapi
jika hal tersebut dilakukan terus-menerus tentu sangat merepotkan
mengingat banyaknya air bersih yang kami perlukan.
SANG JENGGALA TERSENYUM
LAGI
Lahan botak yang dahulunya alas rindang tersebut akhirnya
dimanfaatkan oleh warga untuk bercocok tanam sekalian mengurangi dampak erosi.
Awalnya memang tidak ada pembagian petak lahan yang jelas hingga akhirnya
pemerintah turut campur tangan dengan menerjunkan polisi hutan. Setiap keluarga
mendapat jatah petak masing-masing dengan luasan lahan yang telah ditentukan.
Lahan tersebut digunakan oleh warga untuk bercocok tanam dengan syarat harus
menanam pohon Jati yang bibitnya telah disediakan oleh pemerintah. Masyarakat
pun menyetujui usaha reboisasi tersebut. Area bekas wana tersebut kini berubah
menjadi lahan pertanian dan dengan dimasukkannya unsur reboisasi diharapkan
luka-luka sang rimba dapat segera pulih kembali. Berbagai jenis tanaman pangan
seperti jagung, padi hingga cabai pun mengisi hingga sudut-sudut mbaon
(lahan pertanian dalam hutan) tersebut.
Perjalanan sang
banyu di perkampungan kami memang begitu berliku. Dimulai dari sulitnya
mendapatkan akses air, mengalirnya air ke rumah-rumah warga, penggundulan hutan
yang berakibat pada buruknya kualitas air hingga usaha pengembalian sang
jenggala. Reboisasi memang ditujukan untuk pemulihan kondisi hutan dan kualitas
air bagi warga namun sayang usaha tersebut belum membuahkan hasil yang
signifikan. Tanaman pangan yang tumbuh tak cukup lihai menghindari erosi yang
terjadi. Memang benar pohon Jati sudah mulai ditanam hanya saja para petani
bukanlah tukang sihir yang mampu menyulap pohon-pohon tersebut tiba-tiba
berukuran besar dan rimbun yang sanggup menghadang erosi kala hujan lebat
datang. Untuk membuat pohon Jati tumbuh besar memang membutuhkan waktu yang
sangat lama, itulah alasan mengapa perbuatan para pembalak sangat disesalkan.
Parahnya lagi tidak semua petani benar-benar menggubris saran pemerintah untuk
menanam pohon Jati. Beberapa oknum petani nakal tetap menggunakan lahan
pinjaman pemerintah tersebut sebagai ladang.
Kini wanaku memang telah kembali namun tak benar-benar seperti
dulu lagi. Air jernih yang dulu menghampiri kami kini sulit ditemui ketika
musim penghujan seperti sekarang sedang terjadi. Saya benar-benar rindu gentong-gentong,
bak mandi juga kendi kami terisi air jernih dan bersih. Meski
demikian warga kampung tetap menggunakan air tersebut untuk berbagai keperluan
termasuk air minum.
Semoga dengan usaha kecil yang dilakukan oleh warga kampung
dapat membuat sang jenggala tersenyum kembali meski butuh waktu yang tak
sebentar untuk mewujudkannya. Semoga kebodohan yang terjadi di masa lalu tak
terulang lagi di masa depan dan dapat dijadikan pelajaran agar lebih mawas diri
dalam menjaga dan mensyukuri anugerah Ilahi.
MY HOPE
HARAPAN! Itulah conclusions yang coba saya sampaikan dalam
tulisan ini. Semua cerita yang saya sajikan di atas bukanlah dongeng belaka
melainkan sebuah kenyataan yang bahkan saya sendiri juga terlibat didalamnya.
Kami memang memiliki riwayat tersendiri terkait air sebagai bagian dari
kehidupan yang mungkin layak dibagi kepada khalayak agar supaya dapat diambil
hikmah atas segala kejadian yang menimpa kampung kami. Adapun beberapa hal yang saya harapkan
atas coretan tangan yang saya buat ini diantaranya :
- Jagalah alam maka alam
akan menjagamu. Dear all, kisah di atas sungguh
merupakan bukti nyata bahwa alam pun tak segan-segan murka hanya sekedar
untuk memperingatkan manusia atas tangan-tangan jahilnya. Saya berharap
kepada semuanya, siapa pun anda dan dimana pun berada agar supaya lebih
arif memperlakukan alam, biarkanlah mereka tumbuh menghijau untuk
menyejukkan kita semua. Jika ingin mengais rejeki dari sekitarnya maka
ambillah sewajarnya saja. Menjaga kelestarian alam dan lingkungan
merupakan tanggung jawab kita bersama. Dengan menjaga kelestarian alam
maka kita juga melestarikan sumber air dan itu artinya kita juga menjaga
kualitas hidup kita agar senantiasa baik adanya. Lestari alam kita maka
lestari pula hidup kita! J
- Gunakan air dengan
bijak. Isu tentang kelangkaan air terutama akan
ketersediaan air bersih mulai merebak dimana-mana dan tentunya hal
tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Untuk itu, menggunakan air dengan
bijak adalah pilihan yang tepat bagi kita semua sebagai upaya menyongsong
masa depan yang lebih jernih, sejernih air bersih yang berusaha kita hemat
penggunaannya. Gunakanlah air yang ada disekitar kita dengan seefektif dan
seefisien mungkin untuk melayani berbagai keperluan kita sehari-hari salah
satunya adalah kebutuhan akan air minum yang bersih dan sehat.
- Saling mengingatkan!
Sekali lagi saya tekankan arti pentingnya menjaga lingkungan disini.
Berbagai musibah yang terjadi di Indonesia banyak yang terjadi akibat
tidak pandainya warga dalam hal menjaga lingkungan. Penggundulan hutan
atau wilayah hijau lainnya dapat mengakibatkan berkurangnya daerah resapan
air, ditambah pula kebiasaan membuang sampah sembarangan dapat
mengakibatkan musibah misal saja banjir yang saat ini melanda ibu kota dan
masih banyak bencana lain lagi yang penyebabnya berasal dari ulah manusia
sendiri. Jika kita sudah tahu atau bahkan merasakan akibatnya, lalu kenapa
tidak kita kita mencegahnya sekarang? Saya rasa belum lah terlambat bagi
kita untuk memperbaiki semuanya. Menurut saya “mengingatkan” bukan saja
merupakan tugas pemerintah sebagai pamong di negeri ini melainkan sudah
menjadi kewajiban bagi seluruh komponen masyarakat untuk saling mengingatkan sesamanya bilamana
menemui oknum atau bahkan golongan yang melakukan tindakan yang dapat menimbulkan sejumlah kerugian di kemudian hari. Alangkah lebih baik lagi
jika tindakan baik ini kita mulai dari diri sendiri dan tentunya dimulai
dari sekarang! J
Demikianlah artikel
ini dibuat sebagai salah satu langkah kecil untuk mengkampanyekan kepada publik
tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Semoga sharing yang saya
bagikan dapat bermanfaat bagi pembaca blog ini. Artikel ini diangkat dari kisah
nyata dan semoga dapat menjadi inspirasi tentang bagaimana memperlakukan alam
yang sepatutnya agar kelestariannya juga berdampak pada kita. Jika mungkin saja
tulisan saya di atas kurang mengena, semoga lirik lagu berikut ini dapat
mewakilinya ^_^.
BERITA CUACA-BOOMERANG
Lestari alamku,
lestari desaku
Dimana Tuhanku
menitipkan aku
Nyanyi
bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan
untuk nusa
Damai saudaraku,
suburlah bumiku
Kuingat ibuku
dongengkan cerita
Kisah tentang
jaya nusantara lama
Tentram
kertaraharja disana
Mengapa tanahku
rawan kini
Bukit-bukitpun
telanjang berdiri
Pohon dan
rumput-rumput enggan bersemi kembali
Dan
burung-burungpun malu bernyanyi
Kuingin bukitku
hijau kembali
Semak rerumputpun
tak sabar menanti
Doa kan kuucapkan
hari demi hari
Sampai kapankah
hati lapang diri
Kami kan
bernyanyi hibur lara hati
Nyanyikan bait
padamu negeri
Tentang
kertaraharja disana.
Referensi Foto :
Koleksi Pribadi
Referensi Lirik :
www.hotlyrics.net/lyrics/B/Boomerang/Berita_Cuaca.html
:D
ReplyDelete:D juga
Delete:-)
ReplyDelete